Mintalah Maaf, maka Engkau akan Dihargai

Kesalahan, jika berhubungan dengan Allah, bertaubatnya jauh lebih mudah. Berbeda dengan kesalahan yang terkait dengan sesama manusia. Mengapa? Karena untuk bertaubat kepada Allah, cukup seperti apa yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi dalam Riyadhus Shalihin, “Ulama berkata bahwa bertaubat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib. Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia, maka syaratnya ada tiga. Pertama, hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia harus menyesali perbuatannya. Ketiga, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah.”

Meski beberapa ulama lain menambahkan keharusan untuk menebus kesalahan itu dengan amal shalih lainnya.

Sedangkan untuk kesalahan dengan sesama manusia, maka ditambah satu lagi, yakni hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang yang disalahi. Jika berbentuk harta benda, maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa celaan, tuduhan, atau pemukulan, dan sejenisnya,  maka ia harus minta maaf dan rela diqishas.

Namun, rupa-rupanya ini yang terkadang menjadikan seseorang memilih tetap terlilit dosa, karena ia enggan menuntaskan urusannya kepada sesamanya; yang salah satunya dengan meminta maaf. Hal itu bisa terjadi karena banyak sebab, tetapi kebanyakan lantaran merasa khawatir jika harga dirinya akan berkurang. Atau kedudukannya jatuh karena harus meminta maaf kepada orang lain, apalagi orang tersebut secara strata sosial tidak lebih tinggi dibandingkan dirinya.

Anggapan tersebut jelas keliru. Disamping akibatnya fatal karena sama halnya membiarkan ada masalah yang terpendam dan dengan begitu juga berarti memelihara  dosa yang kelak di akhirat harus dipertanggungjawabkannya. Bahkan sebenarnya meminta maaf adalah cermin jiwa yang besar, dan wujud dari pribadi yang pemberani.

Sungguh, kebesaran jiwa dan keberanian hati yang akan membawa pada kelapangan dada dan pikiran. Bebas masalah didunia, lepas dari tuntutan di akhirat. Sebaliknya, bersikukuh untuk tidak mengakui kesalahan dan tidak mau meminta maaf adalah sebentuk kesombongan dan gambaran dari kerdilnya jiwa serta kepengecutan hati. Sebuah keadaan yang akan mempertemukan dengan kenyataan pahit; dibenci oleh sesama dan menjadi tidak berharga dalam pandangan manusia. Jelas, bukan cara yang baik untuk menjaga harga diri.

Aku Menangis untuk Adikku Enam Kali

Diterjemahkan dari : “I cried for my brother six times.”

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.

“Siapa yang mencuri uang itu?” ,beliau bertanya.

Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi beliau mengatakan:
“Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”

Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata: “Ayah, aku yang melakukannya!”

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marah sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi.
“Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, aku tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata,
“Kak, jangan menangis lagi. Semuanya sudah terjadi.”

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa wajah adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11 tahun.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, aku diterima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi.

Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Aku mendengarnya memberengut:
“Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik… hasil yang begitu baik…”
Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas.
“Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata,
“Ayah, aku tidak mau melanjutkan sekolah lagi. Aku telah cukup membaca banyak buku.”
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.
“Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti aku mesti mengemis di jalanan, aku akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!”

Dan kemudian, Ayah mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata:
“Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya, kalau tidak, ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku.
“Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Aku akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.”
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20 tahun.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya dilokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan:
“Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!”

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya,
“Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku, kalau kamu adalah adikku?”
Dia menjawab, tersenyum:
“Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu aku adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”

Aku merasa terenyuh dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku dan tersekat-sekat dalam kata-kataku:
“Aku tidak peduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apapun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu!!”
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Aku melihat semua gadis kota memakainya. Jadi aku pikir, kakak juga harus memiliki satu.”

Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah. Kaca jendela yang pecah telah diganti dan kelihatan bersih di mana-mana.

Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.
“Bu, Ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!”
Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu. Dia pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.”

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya.
“Apakah sakit?” Aku menanyakannya.
“Tidak, tidak sakit. Kakak tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…”

Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras diwajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal dikota. Sudah berkali-kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku juga tidak setuju, ia mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu saja. Aku akan menjaga ibu dan ayah di sini.”
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, aku menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”

Dengan wajah serius, ia membela keputusannya:
“Pikirkan kakak ipar, ia baru saja jadi direktur, dan aku hampir tidak berpendidikan. Jika aku menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?”

Mata suamiku dipenuhi air mata dan kemudian keluar kata-kataku yang terbata-bata, “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku.

Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara
pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?”

Bahkan tanpa berpikir, ia menjawab, “Kakakku.”
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak kuingat lagi.
“Ketika SD, aku dan kakakku pergi sekolah bersama-sama. Setiap hari kakakku dan aku berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, aku kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, aku bersumpah, selama aku masih hidup, aku akan menjaga kakakku dan berbuat baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah keluar dari bibirku.
“Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.”
Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, didepan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Emas Kotor


Beberapa waktu yang lalu, di Mesir hidup seorang sufi tersohor bernama Zun-Nun. Seorang pemuda mendatanginya dan bertanya, “Guru, saya tak mengerti, mengapa orang seperti anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat perlu, bukan hanya untuk penampilan namun juga untuk banyak tujuan lain.”

Sang sufi hanya tersenyum. Ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata, “Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar diseberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?”

Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, “Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu.”

“Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil.”

Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor, “Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keping perak.”

Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata, “Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka harga. Dengarkan saja, bagaimana ia memberikan penilaian.”

Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor, “Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar.”

Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih, “Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya “para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar” yang menilai demikian. Namun tidak bagi “pedagang emas”.

Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses, wahai sobat mudaku. Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas.”

Makan Ala Rasulullah saw

  • Tidak makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang.

Sabda Nabi saw., kami adalah kaum yang tidak makan kecuali lapar dan berhenti sebelum kenyang.

  • Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.

Ibnu Majah dan Al Baihaqi meriwayatkan dari Anas ra, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa menginginkan agar Allah memperbanyak kebaikan rumahnya, maka hendaklah ia berwudhu ketika santapannya datang dan diangkat.”

  • Didahului Basmalah dan diakhiri Hamdalah.

Abu Daud dan Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah ra, Ia mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Apabila salah seorang diantara kamu makan, hendaklah  ia menyebut Allah Ta’ala (Basmalah). Dan apabila  ia lupa menyebut nama Allah Ta’ala pada awalnya, maka hendaklah ia mengucapkan, Bismillaahi awwalahu wa aakhirahu (Dengan menyebut nama Allah pada awalnya dan akhirnya).”

  • Meneguk minuman tidak sekaligus.

Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian minum dengan sekali teguk seperti minumnya unta, tetapi minumlah dua atau tiga kali teguk. Dan bacalah Basmalah jika kalian minum, serta bacalah Hamdalah jika  kalian selesai minum.”

  • Tidak mencela makanan.

Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa ia berkata, “Rasulullah saw sama sekali tidak pernah mencela suatu makanan pun. Apabila beliau berselera terhadap makanan itu, maka beliau memakannya, dan jika beliau tidak menyukainya maka beliau meningggalkannya.”

–       Makan dengan tangan kanan dan mengambil makanan terdekat.

Muslim meriwayatkan dari Umar bin Abu Salamah ra, Ia mengatakan, “Pernah aku menjadi seorang budak di bawah pengawasan Rasulullah saw. Ketika (makan) tanganku bergerak di tempat makanan, Rasulullah saw menegurku,”Hai anak, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang dekat denganmu.”

  • Tidak meniup minuman.

At-Tarmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa, “Nabi  saw telah melarang bernafas di dalam bejana atau meniup air di dalamnya.”

Meniup dan bernafas ketika minum dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan.

  • Makan dengan posisi tegak.

Muslim meriwayatkan dari Anas ra bahwa ia berkata, “Aku melihat Rasulullah saw duduk tegak ketika memakan buah kurma.”

  • Sesuai kemampuan.

Muslim meriwayatkan dari Jabir ra bahwa, Nabi saw bertanya kepada keluarganya tentang lauk pauk. Mereka menjawab, “Kita tidak punya sesuatu selain cuka.” Beliau memintanya dan memakannya sedikit, seraya bersabda, “Ya, lauk pauk adalah cuka. Ya, lauk pauk adalah cuka.”

  • Duduk saat minum dan makan.

Muslim meriwayatkan dari Anas ra dari Nabi saw, “Bahwa ia melarang seseorang untuk minum sambil berdiri. Qatadah berkata, “Kemudian kami bertanya kepada Anas tentang makan. Ia menjawab bahwa itu lebih buruk.”

  • Jangan kekenyangan.

Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan lainnya meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda, “Tidak ada suatu tempat hunian anak Adam yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap saja, sekedar dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika terpaksa ia harus berbuat, maka hendaknya sepertiga diisi untuk makanannya dan sepertiga untuk minumannya, serta sepertiga lagi diisi untuk nafasnya.”

—————————

Dikutip dari: Panduan Belanja dan Konsumsi Halal – DR. Ir. Anton Apriyantono

(Ketua Dewan Pembina Yayasan Halalan Thayyiban)